Selasa, 22 Desember 2015

Terima kasih, ibu ❤❤

Ibu, itulah tiga huruf yang sangat berarti dalam perjalanan hidupku. Tiga huruf yang bisa dikatakan sederhana tapi, tidak pada kenyataannya. Karena bagi mereka yang terjatuh bisa bangkit kembali, yang bersedih hati bisa tertawa lepas kembali. Sebuah moodboster bagiku.
Ibu lah yang sejak kecil selalu menjaga dan merawatku dengan segenap kasih sayang yang begitu tulus. Tak pernah mengenal kata lelah. Setiap lelah yang dirasakan akan sirna ketika melihat buah hatinya tersenyum manis. Terkadang ibu terpaksa berbohong kepadaku mengenai kondisi kesehatannya. Ibu tidak mau membuat anaknya khawatir.
Ibu yang selalu meluruskan langkahku ketika langkahku mulai berbelok. Menasehatiku tanpa amarah walau terkadang aku tidak meresponnya dengan baik. Tapi, ibu tetap bersabar menghadapiku.
Ibu yang selalu menyayangiku dengan tulus. Belaiannya begitu nyaman.
Maafkan aku, selama ini telah melukai hatimu ibu. Terkadang mata hatiku tertutup akan keegoisanku, ibu.
Aku tersadar. Tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayangmu. Ocehan ibu yang selalu aku acuhkan ternyata tidaklah sia-sia.
Aku rindu ibu. Aku ingin memeluk ibu dan mengatakan "terima kasih telah menjadi ibu yang terbaik buatku". Aku disini berjuang demi ibu. Doakan anakmu ini berhasil, bu. Aku akan berusaha lebih baik lagi. Ya Allah, berilah balasan yang sepadan dengan ketulusan ibu. Semoga diusianya sekarang ibu selalu sehat. Semoga ibu tetap ada disampingku sampai aku berhasil membuatnya tersenyum bahagia dan bangga mempunyai anak sepertiku. Izinkan aku membahagiakan ibu ya Allah.

Sabtu, 07 November 2015

Cinta Doremi

“Hei....apa yang kau lakukan!”
Aku yang saat itu sedang asyik mengintip, tiba-tiba lari sekencang mungkin karena suara itu. Aku terkejut. Aku takut ada yang mengenaliku. Namun, disela perjalananku.
“Brukkkk....aduuuhhh.....pinggangku...,” dengan muka meringis aku paksakan diri untuk berdiri.
Lantai begitu licin. Akibat hujan yang turun tadi pagi.
“Hahaha... Beruntung. Tak ada satupun orang yang melihatku terjatuh”. Aku melanjutkan perjalanan menuju kelas.
“Dari mana saja kau, Re?”
“Tadi kepalaku pusing jadi aku istirahat di UKS”.
“Oh, lalu bisakah kau jelaskan kenapa rok kau bisa kotor seperti itu?”, ledek temanku Bobon.
“Hahahaha dasar perempuan jorok?” tambah Bobon.
“Pasti dia terjatuh karena kepalanya pusing tak mampu menopang badannya sendiri.. hahahaa...,” Edo datang dan menyerbuku sambil memperagakan kejadian aku terjatuh tadi.
“Oh, Tuhan. Ternyata mereka melihatku,”bisikku.
“Kenapa kau kaget? Tadi kami bersembunyi ketika kau terjatuh.. hahaha,” ujar Bobon.
Aku tak menghiraukan ledekan basi mereka dan memilih duduk. Walaupun sebenarnya tubuh Bobon yang gempal membuatku ingin mencabik-cabik pipinya yang bagaikan bakpau dikantin itu. Kemudian lonceng terdengar 3 kali itu menandakan waktunya pulang.
****
Akhir-akhir ini, aku sering sekali permisi saat jam pelajaran. Aku selalu mencari alasan agar bisa keluar dari kelas. Sehingga membuat Bu Diah wali kelasku kesal. Aku dituduh malas untuk belajar.  Gara-gara kejadian itu aku tidak berani permisi lagi dalam waktu yang lama. Jika, aku tetap melakukan itu kedua orangtuaku disuruh menemui kepala sekolah. Uhhh.
Aku hanya ingin melihat sesuatu. Sesuatu yang bisa membuatku tersenyum sendiri. Siapa lagi kalau bukan si Romi anak kelas tetangga. Dialah yang membuatku berani melakukan hal yang buruk itu. Pikiranku lepas kontrol. Rasa kagum yang tumbuh makin membara. Suaranya selalu terniang ditelingaku. Lantunan adzan yang terucap dari mulutnya begitu indah.
Kala itu, aku sedang memilih-milih mukena dan tiba-tiba terdiam karena mendengar lantunan adzan yang indah itu. Aku lari dan mengambil posisi paling depan. Aku melakukannya karena mau mengintip siapakah sosok laki-laki yang mengumandangkan adzan tadi. Ku dapati Bobon dan Edo sedang melambai-lambaikan tangannya. Spontan saja, aku membalas lambaian mereka. Aku tak ingin mereka mengetahui tujuanku. Uhh dasar pengganggu.
Sholat berjamaah berjalan dengan khidmat. Pak Sugeng guru matematika selalu menjadi imam kami. Aku menunggu sampai semuanya sepi. Aku ingin bertanya kepada Pak Sugeng siapa yang tadi bertugas mengumandangkan adzan.
“Pak, tunggu!”
“Ya ada apa, Re. Cepat kembali ke kelas sebentar lagi pelajaran dimulai”, nadanya mulai meninggi.
“Sebentar pak, saya mau bertanya tadi yang adzan siapa ya ?”. Aku mulai menggunakan jurus memelasku agar Pak Sugeng iba dan memberitahuku.
“Lihat saja dijadwal adzan, Re. Ya sudah Bapak mau kembali ke kelas lagi.” Pak Sugeng meninggalkanku begitu saja.
“Betapa bodohnya aku, sampai lupa kalau ada jadwal petugas adzan”.
“Hehe,” aku tertawa kecil karena kebodohan itu.
Aku bergegas pergi melihat petugas adzan hari ini.
“Oh namanya Romi”.
Sejak kejadian itu, aku kagum pada “Romi’. Tapi, cukup mengaguminya dalam diam saja. Tak boleh ada satu yang tahu bahwa aku mengagumi Romi. Aku juga tak mau mengungkapkan rasa ini. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Aku yakin semuanya kan berakhir indah.
Aku mulai mencari tahu semua tentang Romi. Dia ternyata pemain basket terkenal disekolah. Saat Romi bertanding basket aku selalu menontonnya.  Aku tak ingin kehilangan kesempatan terbaik. Kesempatan bersamanya. Aku bisa leluasa melihat gerak-gerik dan ketangkasan Romi saat bermain basket. Takkan ada orang yang curiga. Itu tontonan umum siapa saja berhak untuk menonton dan terlebih lagi aku adalah salah satu pemain basket jadi wajar saja aku suka menonton pertandingan basket. Aku juga tak pernah menampakkan sesuatu yang aneh. Semuanya biasa-biasa saja. Aku hanya duduk tenang dan memperhatikan. Terkadang aku tersenyum sendiri. Ratna sering menegurku agar aku jangan melakukan hal bodoh seperti tersenyum sendiri itu. Aku mengiyakan perkataan Ratna karena aku takut Ratna tak mau menemaniku lagi menonton. Tapi, tak lama aku mengulangi hal bodoh itu. Ratna tak merespon. Mungkin dia mulai lelah mengingatkanku.
Romi lah alasanku permisi saat jam pelajaran karena pada hari itu kelas Romi pelajaran olahraga. Dia dan teman-temannya selalu bermain basket pada pelajaran olahraga tesebut. Aku tak mau kehilangan kesempatan menyaksikan kehebatan Romi. Aku mempunyai tempat persembunyian agar tak ada yang melihatku. Tepat di balik pohon beringin yang tak berada jauh dari lapangan basket. Tubuhku yang tak terlalu besar tertutupi oleh pohon beringin yang usianya sudah puluhan tahun. Selain tertutupi anginnya yang sepoi-sepoi membuatku semakin nyaman berada dibalik pohon itu. Tapi, karena Bu Diah sudah menegurku. Akhirnya aku menyaksikan walau hanya sepintas saja.
****
Dibulan ini akan diadakan pertandingan basket antar sekolah se-kabupaten. Semua tim basket mengadakan latihan yang lebih intensif. Tim basketku harus menerima kenyataan pahit. Saat diadakan seleksi tim basket putri disekolah, timku harus gugur. Skornya tipis sekali. Aku tak mampu menambah skor. Aku terjatuh. Kakiku terkilir. Aku tak mampu lagi berdiri. Tapi disaat itu Ratna datang bak malaikat. Dia sigap dan membawaku keluar lapangan. Aku tak mengira Ratna yang sifatnya dingin dan terlihat masa bodoh begitu peduli.
“Apa yang kau rasakan, Re”, wajah cemas menyelimuti Ratna.
“Ya sakitlah, Na. Kau lihat saja aku tak bisa berjalan.”
Ratna hanya diam. Mungkin Ratna tersinggung karena ucapanku.
“Ratna, maafkan aku. Tak sepantasnya aku berkata seperti itu seharusnya aku harus berterima kasih padamu karena sudah menolongku”, nadaku mulai melemah. Aku tak kuasa menahan rasa sakit dikakiku.
Ratna tak ada menjawab pertanyaanku. Aku semakin kesal. Ratna menjauh dariku. Tak lama kemudian aku melihat dia sibuk menelpon. Ya sudahlah.
“Ayo, cepat mobil ayahku sudah menunggu didepan, kita akan pergi ke tukang urut”.
Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak hentinya mengucapkan terima kasih dan maaf pada Ratna. Terima kasih atas kebaikannya menyembuhkan kakiku dan maaf karena aku sudah salah menilainya. Sejak kejadian itu persahabatan kami semakin dekat. Tapi, walau begitu aku takkan memberitahukan rahasia besar itu kepada Ratna.
****
Seminggu kemudian aku baru bisa sekolah walaupun kakiku belum seratus persen pulih. Selama seminggu ini aku tak bisa berjumpa dengan Romi. Selama seminggu ini juga Ratna rajin main kerumahku untuk sekedar melihatku dan membantuku menyelesaikan tugas-tugas disekolah. Berdasarkan cerita Ratna tim basket putra yang terpilih dari sekolah kami adalah tim basket Romi. Sebenarnya aku sudah tahu pasti tim Romi yang terpilih. Tapi ada satu hal yang membuatku sedikit aneh Edo dimasukkan kedalam tim Romi. Aku meragukannya. Ratna menjelaskan perkembangan permainan basket Edo melesat begitu cepat. Karena itu, Edo terpilih. Aku berdoa semoga saja sekolahku yang memenangkan pertandingan itu.
Rere, harus nonton ya. Tapi, tunggu dulu yang boleh nonton kan kakinya tak boleh pincang. Hahaha”, Edo mulai meledekku.
“Iya, Do.Hahaha...”, tambah Bobon dari kejauhan. Kemudian mereka dengan kompaknya mempraktekan adegan aku berjalan pincang.
Rasanya ingin ku pukul mereka dengan sepatu. Tapi, mereka sudah dulu berlari bagai angin begitu cepat dan sangat cepat. Usahaku lagi-lagi gagal untuk membalas.
Bel berbunyi sebanyak 5 kali itu artinya apel. Semua siswa berkumpul dilapangan membentuk barisan per kelas. Aku kali ini tidak ikut apel karena kondisi kakiku tidak memungkinkan. Aku hanya duduk didepan kelas ikut mendengarkan pengumuman yang disampaikan. Ratna sesekali melambaikan tangan. Padahal, dia ingin menemaniku tapi guru yang piket tak mengizinkan. Mataku kemudian liar. Mencari sesuatu. Dan akhirnya aku berhasil menemukan sesuatu itu. Ya siapa lagi kalau bukan Romi. Romi berada dibarisan paling belakang. Ada harapan kecil dihatiku. Romi menoleh ke belakang sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Ahhh, sudahlah. Dalam waktu 30 menit apel berakhir. Suasana terlalu gaduh. Aku tak bisa mendengar pengumumannya. Aku harus menunggu Ratna kembali kemudian mengintograsinya.
“Ratna, pengumuman apa tadi?”
“Pertandingan basket dimulai besok, Re. Terus dari sekolah kita dikirim 4 tim. 2 tim putri dan 2 tim putra,” jelas Ratna.
“Oh iya kabar selanjutnya final akan diadakan digedung olahraga yang baru, Re. Tapi kalau mau menonton harus beli tiket. Untuk tiket yang biasa berkisar Rp30.000,00 dan VIP berkisar Rp80.000,00.”
“Oh,” nadaku mulai melemah. Tiketnya lumayan mahal. Tak apa. Aku akan menyisihkan uang jajanku. Aku harus menonton pertandingan itu. Harapan untuk ikut bertanding sudah lama pupus. Yang terpenting aku harus melihat Romi bertanding.
Waktunya pulang. Hari ini ayah yang mengantarku pulang. Biasanya Ratna yang melakukannya. Tapi, kali ini aku menolak tawarannya. Aku tak ingin selalu merepotkannya. Walau terkadang wajah Ratna tak pernah terlihat terbebani. Ratna terlihat seperti biasa, bersahaja dan menyenangkan.
****
Tiga hari kakiku benar-benar membaik. Tidak perlu memakai tongkat dan tidak pincang lagi ke sekolah. Aku bisa bernafas lega. Aku pergi ke taman yang tak jauh dari lapangan basket. Kemudian bertahan disana. Melihat orang bermain basket kalau lagi beruntung, aku bisa bertemu dengan Romi. Hari ini aku hanya melihat Edo. Dia sesekali melihatku. Melemparkan senyum yang biasa saja. Lalu beberapa menit kemudian Romi datang. Pesona Edo redup. Teman-temanku berteriak histeris. Berusaha memanggil nama Romi. Romi balas dengan senyum tanpa berkata. Itu saja bagi mereka sudah cukup. Senyum yang menyejukan tidak seperti senyum Edo. Aku sedikit kesal dengan tindakan teman-temanku yang nekat mendekat menyaksikan Romi bermain. Aku saja dari tadi sudah menunggu kedatangannya, tapi tetap menjaga jarak. Oh, Tuhan. Biarkan saja.
Tiba-tiba saja Edo dan Romi datang. Jujur saja jantungku seperti berhenti bekerja. Tidak pernah sedekat ini. Mataku terbelalak. Lalu bagaimana dengan wajahku. Akankah dia mengeluarkan rona merah itu. Lalu, aku berusaha mengendalikan semuanya. Aku harus sadar. Ratna hanya bisa terdiam sambil memegang roti yang dari tadi tidak habis-habis.
“Hei, kau dan Ratna jangan sampai tidak menonton kami ya,” ujar Edo.
Pupus. Hanya Edo yang bersuara. Romi tetap terdiam dengan senyumannya. Imajinasi dan impianku terlalu tinggi. Bagaimana mungkin bisa. Romi sama sekali tidak mengenaliku. Tapi, tidak sebaliknya. Aku mengenalinya sebegitu detail. Tidak adil. Ya sudah. Aku tetap bahagia bisa melihat senyumnya sedekat ini. Lebih dekat daripada teman-temanku tadi. Mereka berlalu begitu saja.
****
Hari yang ditunggu-tunggu datang. Kesempatan terakhir melihatnya bertanding. Tamat SMA, Romi akan melanjutkan pendidikan diluar kota. Aku pasti susah untuk bertemu dengannya lagi. Hari ini aku bangun lebih awal. Aku masih bingung menentukan baju apa yang harus ku kenakan. Hampir satu jam aku menghabiskan waktu dengan percuma. Mataku berhenti mencari saat ku dapati kaos berwarna biru muda dengan motif kotak-kotak. Tanpa berpikir lama, aku raih kaosnya.
Ayah dan ibu merasa aneh dengan sikapku hari ini. Aku terlalu sering tersenyum sendiri. Aku tak perduli. Nanti juga mereka tahu kenapa aku seperti ini. Ratna hari ini berjanji menjemputku dengan mobil. Dia tidak ingin penampilanku hari ini terkena debu-debu jalanan. Tidak mengizinkanku berpanas-panasan dengan sepeda motor milikku.
“Kau tunggu saja baik-baik dirumah sebentar lagi aku sampai. Putri cantikku”.
Ratna. Dia membuatku tersipu malu.
Waktu terus berlalu. Sudah satu jam lebih aku menunggu. Ratna belum juga datang. Aku mulai panik. Pertandingan akan segera dimulai. Romi pasti sudah ada disana. Aku ingin segera menyaksikannya. Teganya Ratna merusak hari spesialku. Pesan singkat dari Bobon menyuruhku agar cepat datang. Kalau tidak ada yang mengantar aku mau menjemputmu. Lalu bagaimana dengan Ratna. Haruskah aku meninggalkannya. Apa mungkin dia sudah datang dipertandingan itu. Apa mungkin selama ini dia menyukai Romi juga sehingga aku tidak diizinkan menonton. Apa yang harus aku lakukan. Waktu semakin cepat berjalan. Beberapa kali ayah dan ibu menanyakan hal yang sama.
“Apa perlu ayah yang antar kesana?.”
Aku selalu menggelengkan kepala. Artinya tidak. Akhirnya ayah dan ibu meninggalkan aku. Mereka mau pergi ke rumah nenek. Kebetulan nenekku sakit. Aku tidak begitu menghiraukan mereka. Aku hanya memperhatikan jam ditanganku dan handphoneku. Sekarang kaosku mulai lusuh sama seperti wajahku. Aku berusaha menghubungi Ratna tapi, tidak ada jawaban. Aku tidak mungkin pergi sendiri tanpa Ratna. Tapi, kalau tidak aku akan kehilangan hari spesialku ini. Aku harus memilih.
“Maafkan aku, Na. Aku pergi sendiri.”
Aku terpaksa harus naik angkutan umum. Ayah dan ibu terlanjur pergi. Ahh. Cobaan demi cobaan datang. Lima belas menit kemudian angkutan umumnya datang. Hatiku mendongkol. Aku tidak akan pernah memaafkan Ratna kalau hari spesialku ini berantakan. Aku membencinya. Tak lama kemudian aku sampai. Tepat digedung pertandingan Romi. Aku harus cepat sebelum semuanya berakhir.
Terlambat. Aku benar-benar kecewa. Hari spesialku berakhir. Pertandingan telah usai sepuluh menit yang lalu. Aku tidak bisa berjumpa dengan Romi. Didetik terakhir ini. Bahkan aku sendiri tanpa Ratna. Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Aku gagal. Usahaku selama ini sia-sia. Tiba-tiba ada air yang mengalir begitu deras dipipiku. Aku tidak bisa menahannya. Ya, air mataku jatuh tak terbendung. Apa ini. Aku harus menerima kenyataan yang begitu menyakitkan.
“Dek, jangan sedih ya kan masih ada tahun depan. Perbaiki saja strategi permainannya.”
Kakak itu hampir saja membuatku tertawa. Padahal aku bukan menangisi pertandingan tadi. Aku menangisi hari spesialku berakhir tragis. Uhh.
“Hei, tadi Edo titip salam. Tim kami kalah karena kau tidak datang saat pertandingan tadi. Dia tidak semangat seperti biasanya”.
Aku terdiam.
“Aku Romi. Teman basket Edo. Edo sering menceritakan tentang kau. Katanya sih kau wanita paling cerewet. Hahaha. Kenapa kau menangis?”
“Diam. Kau tidak perlu tahu. Mana Edo?”
“Dia sudah pulang. Kakinya tadi patah karena terjatuh waktu bertanding. Ya, sudah aku pulang dulu. Lanjutkan saja menangisnya. Bye”.
Tuhan, apalagi ini. Aku semakin binggung. Baru saja dia. Dia menghampiriku. Rasanya tidak mungkin tapi, ini benar terjadi. Romi hanya sekedar menghampiriku dan mengatakan hal sekonyol itu. Hal yang sama sekali tidak penting. Tidak ada hubungannya dengan hari spesialku. Hari spesial kita. Aku terlalu terobsesi. Aku terlalu berharap Romi bisa merasakan hal yang sama sepertiku. Lalu ada apa dengan Edo, diam-diam mengagumiku. Aku benci. Bukan ini yang aku mau dihari spesialku. Aku sama sekali tidak suka Edo. Bahkan aku tidak bisa berbicara yang baik dengan Romi. Aku membentak-bentaknya. Ohh.
Tubuhku lemas.
“Re, ini papanya Ratna. Kamu bisa kesini? Ratna mengalami kecelakaan hebat tadi sewaktu mau menjemputmu. Dia membutuhkan darah dan saya tahu darah kamu sama seperti Ratna”.
Pesan singkat itu membuat semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa merasakan apapun. Hanya gelap dan hening.
Ketika terbangun, aku sudah dirumah. Ada ayah, ibu dan benar saja ada Romi dihadapanku. Mataku terbelalak. Ayah mengatakan bahwa aku tadi pingsan dan Romi yang membawaku kerumah. Oh Tuhan. Satu sisi aku bahagia bisa bersama Romi walaupun aku tidak menyadarinya. Satu sisi lagi aku teramat sedih mendengar kondisi Ratna. Romi pamit pulang. Papanya menyuruh Romi ke bandara. Dia harus pergi. Air mataku menetes. Kebersamaan yang teramat singkat. Aku ingin menahannya. Mulutku bisu. Tanganku kaku. Ingin ku katakan selamat jalan Romi. Semoga kita bisa bertemu lagi. Terima kasih untuk hari spesialnya. Tapi, tidak. Biarlah. Jika dia memang jodohku, kita akan berjumpa lagi. Memang cinta tak selamanya harus memiliki. Ya mengagumi dalam diam sudah cukup. Aku bahagia. Sudahlah. Biar semuanya jadi cerita indah di masa putih abuku. Cinta sejati akan hadir disaat yang tepat dan dengan orang yang tepat..
Sebulan kemudian Ratna sembuh. Aku bahagia. Wajahnya yang bersahaja kembali. Ratna sudah bisa tersenyum dan memegang tanganku begitu erat. Dia meminta maaf karena hari spesialku berantakan. Aku menggelengkan kepala artinya tak apa semua sudah digariskan Tuhan manusia hanya bisa berencana tapi, Dialah yang menentukan. Semua yang terjadi di hari itu aku ceritakan pada Ratna.
“Rere suka Romi eh malah Edo yang suka Rere. Jadinya Cinta Doremi dong. Do itu Edo, Re itu Rere dan Mi itu Romi. Hahaha,” ledek Ratna.
Aku hanya tersipu malu.
****

Senin, 07 September 2015

Terjebak rasa

Post kali ini agaknya terbilang ekstrim. Hehehe. Ya apalagi kalau bukan tentang sebuah rasa. Rasa yang salah. Rasa yang seharusnya tak pernah ku biarkan datang. Tapi malah datang begitu cepat. Mengalahkan akal sehat. Mengalahkan semuanya. Huh.Rasa yang sudah terlanjur jauh. Susah untuk dihentikan. Ya, semuanya indah. Lambat laun berubah. Kebohongan satu menjadi kebohongan seterusnya. Kekecewaan satu menjadi kekecewaan seterusnya. Terus apa bahagianya. Indah diawal tidak menjadi tolak ukur akan indah selamanya. Aku benar-benar salah. Hidup disekitar kebohongan dan kekecewaan saja. Dia yang selama ini ku anggap baik. Kemudian mengecewakan. Salah-satu cara merelakan semua yang terjadi. Kemudian berhenti. Tinggalkan semua rasa. Semua terkesan egois. Tidak ada keseimbangan. Adanya sifat mementingkan diri sendiri. Banyak faktor yang ditemui makin sulit. Tidak pernah ada titik temu. Pergilah. Tidak akan ada penahanan disini. Rasa itu telah terlanjur kaku. Tak berdaya. Kebohongan dan kekecewaan menggoroti kebahagiaan.
Apalagi yang akan dipertahankan. Izinkan aku meninggalkan mu disini. Meninggalkan rasa yang sekarang kaku. Tak ku sesali mengenalimu rasa. Kau telah mengajarkanku banyak hal. Aku tak akan tau itu bahagia bila tak pernah merasakan luka.
Aku mulai mengenal kesetiaan. Mengenal perjuangan. Mengenal pengorbanan. Untuk menemukan rasa yang sejati membutuhkan itu semua. Tapi sayang, aku sama sekali belum menemukannya. Semua itu sulit ditemukan pada rasaku. Karena ku tau ini hanya sekedar rasa. Rasa yang hanya sekedar main-main. Bukanlah untuk keseriusan. Wajar. Wajar saja aku tak menemukannya.
Terhitung hari ini aku tidak akan melupakan semua yang telah terjadi. Melainkan aku harus berjalan ke depan. Jangan sampai semuanya terjadi berulang. Iya itu jalan terbaik. Kemudian merelakan dan mengikhlaskan.
Luka tetaplah luka. Bahagia tetaplah bahagia. Ku titipkan rasa ini. Saat ini tenanglah kau rasaku. Suatu saat kita akan bertemu lagi jikalau semuanya sudah siap. Aku akan menunggumu rasa. Tapi, bukan untuk rasa yang kaku lagi. Biarkan disini aku tenang bersama kehidupanku. Berdamailah wahai rasaku. Kau boleh muncul disaat yang tepat. Jangan sekarang. Terlalu cepat.
Wahh... Selesaii 😃😃😃😃

Selasa, 28 Juli 2015

Maafkan aku kakak cantik

Hari ini matahari ku tatap teramat menyilaukan mungkin karena sudah menunjukkan pukul12.00 siang. Rasanya ingin segera ku serbu minuman dingin yang berada diseberang tempat ku berdiri. Tapi, kalah cepat dengan datangnya angkutan umum sehingga harus ku lupakan minum dingin itu dan segera menghampiri angkutan umum. Rasa haus yang ku rasa kian menjadi-jadi saat ku lirik seorang adik bertubuh gempal berseragam putih merah. Adik tersebut sedang menikmati sepotong es krim.
"Hei, kamu sedang haus?" salah satu penumpang memukul pundakku. Aku terkaget.
"Ini ambil saja minumku. Dari tadi kamu melihat adik itu".
"Aku tersipu malu. Iya terima kasih ya, kak". Aku tak kuasa menolak tawaran kakak cantik itu. Sebentar saja minum itu habis.
"Nama adik siapa?".
"Aisyah. Tapi, panggil saja iyah. Nama kakak cantik siapa?".
"Ahh kamu bisa saja, nama kakak Meilani."
Belum sempat bercerita banyak kakak cantik itu turun terlebih dahulu. Walaupun begitu kami sempat bertukar nomor handphone. Pesan dari kak Mei kalau perlu bantuan jangan malu-malu hubungi nomor kakak.
Tiga puluh menit berlalu, kosku sudah terlihat. Kuliahku hari ini sudah cukup. Masak, beres-beres rumah, sholat dan istirahat sebentar sebelum mengerjakan tugasku. Tugas menjadi seorang guru mengaji dimushola dekat kos daripada waktuku terbuang percuma. Memang hasilnya tak seberapa tapi, aku tetap menyukainya. Aku bisa bertemu dengan adik-adik yang lucu dan bisa berbagi ilmu. Jumlahnya tak banyak sekitar 10 anak.
Sampai selesai sholat magrib baru aku pulang ke kos. Sejak SMP aku jauh dari orang tua. Aku ingin belajar mandiri. Awalnya ibu tak mau melepaskan aku untuk jauh darinya, wajar saja aku ini anak semata wayangnya. Untung ayah bisa menaklukan hati ibu sehingga ibu luluh. Ayah dan ibu menyuruhku untuk tinggal bersama nenek. Agar ada yang mengawasi dan mengurusiku. Aku setuju. Selama ini nenek orangnya baik. Waktu yang ku tempuh ke rumah nenek cukup jauh menghabiskan satu hari penuh. Ayah dan ibu menyewa mobil untuk membawa semua peralatanku. Hatiku begitu bahagia. Niatku berhasil terlaksana dengan baik. Sesampainya dirumah, nenek menyambut hangat kedatangan kami. Nenek meminta ayah dan ibu ikut menginap selama beberapa hari dirumahnya. Nenek juga tidak mengerti masalah pendaftaran sekolahku.
Seminggu berlalu. Aku mulai memakai seragam baru. Seragam putih biruku.
"Ayo, iyah sarapan dulu. Ini nenek sudah buatkan nasi goreng".
Aku tak menjawab panggilan nenek. Aku masih sibuk menyisir rambutku. Sesekali aku melamun teringat akan ayah dan ibu. Mungkin karena baru tiga hari ini mereka kembali ke kampung. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
"Iyah, ayo cepat sarapan nanti kamu terlambat pergi ke sekolah barumu".
"Iya, nek. Sebentar lagi rambutku masih belum rapi".
Nenek tersenyum. Kemudian meninggalkanku.
Tak lama kemudian aku menghampiri meja makan dan menghabiskan nasi goreng ala nenek. Nenek sungguh baik. Beliau merawatku dengan kasih sayang. Walau terkadang sedikit garang kalau aku tak menuruti kemauannya. Tak masalah bagiku karena nenek tak mau sesuatu yang buruk terjadi padaku. Hinggaku berseragam putih abu nenek masih setia menemaniku. Nenek adalah teman curhat terbaikku setelah ayah dan ibu. Tak pernah ada yang aku tutupi dari nenek. Sampai aku menceritakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Jatuh cinta dengan kakak kelas saat aku SMA. Nenek hanya menyarankan kepadaku untuk menyimpannya saja. Mencintai dalam diam. Bagiku pun tak masalah. Saran nenek aku terima. Masa putih abuku berakhir dan kisah cinta itupun berakhir. Biarlah kalau jodoh tak kemana itu kata ayah.
Sekarang aku tak merasakan indahnya masa putih biru dan putih abu seperti waktu itu. Rumah nenek sudah dijual. Aku yang menyuruh ayah dan ibu untuk menjualnya. Karena aku tak mau tinggal disana. Ayah dan ibu tak banyak bicara. Pertanda mereka setuju denganku. Aku memilih tinggal dikos yang tidak begitu besar didekat kampusku. Saat aku kuliah disemester ketiga nenek meninggalkanku. Nenek jatuh pingsan saat aku dikampus kemudian tak sadarkan diri. Ku temui nenek tergeletak dikamarnya sudah tak bernyawa. Aku tak bisa menahan tangisku. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Membuat tetangga berdatangan kerumahku. Setelah mereka datang aku tak mengingat apa pun. Ternyata aku pingsan. Disaat aku terbangun ku dapati ayah dan ibu sudah ada disampingku. Aku kaget. Kenapa ayah dan ibu begitu cepat sampai kerumah. Ibu menjelaskan bahwa ibu memang sudah ada diperjalanan menuju rumah nenek. Mereka sengaja tak memberitahu aku dan nenek. Ibu bilang ini kejutan dihari ulang-tahunku. Ternyata semua tak seindah yang mereka bayangkan. Buruk. Takdir Tuhan berkata lain. Ayah berusaha menenangkanku. Ayah memang pandai meluluhkan hati siapa saja termasuk aku. Hatiku jauh lebih tenang.
Seminggu ini ayah dan ibu menemaniku tinggal dirumah nenek. Sampai aku bisa terbiasa semuanya tanpa nenek. Dan akhirnya memilih tinggal di kos sendirian.
Semuanya berjalan begitu saja. Kakak cantik yang waktu itu ku jumpai diangkutan umum menjadi teman curhatku setelah kehilangan nenek. Kak Mei sering berkunjung ke kos ku. Tapi, sayang kak Mei tak pernah mengizinkanku main kerumahnya. Katanya sih karena rumahnya terlalu berantakan. Tapi, menurutku itu bukan masalah yang serius. Yasudahlah.
Hari ini aku beranikan diri untuk bercerita pada kak Mei. Aku sudah tidak bisa menahan lama lagi. Aku terjebak pada perasaan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Rafli datang dikehidupanku lagi. Sejak semester 5, aku menyukainya. Begitupun dengan Raflu. Tapi, Rafli tak mau mengajakku untuk berpacaran. Selama ini kami hanya berteman sewajarnya saja. Rafli sudah tamat terlebih dahulu dibanding aku dan langsung bekerja di suatu perusahaan. Rafli anak orang kaya, pintar dan taat pada agama. Wajahnya tak begitu tampan tapi tetap terlihat istimewa bagiku. Sejak kuliah pun dia sudah bekerja. Setahun berlalu Rafli tanpa kabar. Tak pernah ada komunikasi sama sekali. Dua hari kemarin aku berjumpa dengannya. Dia memanggilku.
"Iyah, ini aku Rafli. Kemana saja kamu? Nomermu tak pernah aktif".
Aku masih tak percaya. Aku pukul tanganku ternyata sakit. Aku tak bermimpi.
"Jadi ini benar kamu, li? Handphoneku hilang. Jadi semua nomer hilang termasuk nomermu. Aku ingin sekali menghuhungimu tapi sayang aku tak tau ingin bertanya pada siapa".
"Iya ini aku. Oh ya sudah tak apa. Bagaimana dengan kuliahmu?".
"Dua hari lagi aku wisuda, li."
"Tolong tulis disini alamatmu ya, yah. Ada sesuatu yang akan aku bicarakan".
"Kenapa tidak sekarang?".
"Tidak. Ini persoalan serius. Aku ingin kamu membantuku untuk pesta pernikahanku."
Hatiku sedikit gemetar. Ada goncangan. Ada sesak. Entahlah. Rasa itu masih ada.
"Baiklah".
Kak Mei meminta izin pergi ke wc. Cerita terpotong. Aku membeli makan siang diwarung. Selesai makan siang dan sholat bersama, cerita berlanjut.
Selama setahun kepergian Rafli, aku bertemu seorang lelaki. Lelaki itu bernama Idris yang tak lain dan tak bukan adalah kakak kelas SMAku dulu yang pernah aku kagumi dan tak terungkap. Dia datang di kehidupanku. Kami bertemu ditoko buku. Saat itu kami membeli buku yang sama. Bukunya hanya bersisa satu. Kak Idris memberikannya untukku begitu saja. Semenjak itu aku dan kak Idris sering berkomunikasi. Memberi warna. Semakin lama aku menyayanginya. Setelah wisuda nanti dia berjanji akan menikahiku. Ayah dan ibu juga setuju dengan niat kak Idris. Dia dewasa, agamanya baik, memang tak sekaya Rafli, humoris dan wajahnya memang tipeku. Tapi, kenapa ketika Rafli datang hatiku menjadi ragu. Kak Mei memberi saran agar aku segera melupakan Rafli dan tetap memilih kak Idris. Nasihatnya aku turuti.
Pagi ini Rafli datang ke kos ku. Aku membantunya dalam memilih perlengkapan pernikahan serta konsep pernikahannya. Setelah semuanya selesai Rafli membuat ku serasa berhenti bernafas. Semua perlengkapan dan konsep pernikahan ini ternyata untuk kami. Ya untuk pernikahan kami. Rafli meminta aku untuk menjadi pendampingnya. Oh Tuhan. Apa yang harus aku lakukan. Aku tak bicara. Hanya meneteskan air mata. Wajah gembira Rafli ada dihadapanku. Akankah aku merusaknya. Aku harus tegas.
"Maafkan aku, kamu terlambat. Bacalah ini."
"Apa, kamu akan menikah?".
"Iya, li. Selama kamu menghilang aku mengira kamu sudah memilih hidup dengan yang lain. Aku bertemu kak Idris yang mengubah seluruh kehidupanku. Aku menyayanginya".
"Aku pulang".
Rafli meninggalkanku begitu saja. Bunga dan cincin yang hendak dia berikan tertinggal diatas meja tak dibawanya.
Waktu terus berlalu. Wisudaku terlaksana dengan baik. Kak Idris bersamaku. Dua hari lagi kebahagiaan itu datang. Aku akan menikah. Tapi kak Mei menghilang bersama hilangnya Rafli. Aku sungguh sedih, kak Mei orang yang selalu setia membantuku tak hadir di hari-hari istimewaku. Usaha mencarinya sudah aku lakukan sampai aku jatuh sakit. Ayah, ibu dan kak Idris berusaha menguatkanku. Cincin dan bunga yang Rafli beri aku serahkan pada ibu, agar beliau menyimpannya.
Tibalah hari yang ditunggu. Hari istimewaku. Ibu mengatakan aku sangat cantik dengan busana pengantinku begitu juga dengan kak Idris. Kami seperti raja dan ratu. Pesta berjalan dengan lancar. Benar saja kak Mei tak ada.
Seminggu setelah hari pernikahan kami, ketika aku sedang makan siang bersama kak Idris, Rafli datang. Aku takut. Akan ada pertengkaran. Kak Idris menenangkanku.
"Tak kan ada masalah percayalah padaku".
Aku menyuruh Rafli duduk. Aku terpaksa meninggalkan kak Idris dan Rafli berdua saja diruang tamu karena aku harus membuatkan minum.
Mereka terlihat begitu akrab dan tertawa bersama. Aku bingung. Apa yang mereka bicarakan.
Tak lama kemudian minum selesaiku buat beserta pisang goreng. Rafli tersenyum melihatku.
"Selamat ya atas pernikahanmu. Memang kak Idris lebih pantas untukmu, yah. Kesalahanku dulu menghilang tidak bisa ku salahkan. Takdir Tuhan ku yakin yang terbaik. Maaf kemarin aku pergi saja meninggalkanmu. Aku sungguh bersedih. Hatiku begitu kacau. Takdir begitu tak adil bagiku. Tuhan menguatkanku sehingga aku bisa menapakkan kakiku dirumah kalian."
Aku tak bisa berkata. Aku hanya menatap kak Idris. Aku bingung.
"Dia telah memaafkanmu, li. Ini yang terbaik dari Tuhan. Yakinlah kamu akan menemui bahagiamu juga. Sabarlah menunggu".
Kak Idris merangkul Rafli. Aku hanya bisa berdiri disamping mereka duduk. Aku terasa membeku.
Tak lama kemudian Rafli meminta izin pulang setelah menghabiskan teh dan sepotong pisang goreng.
"Cincin yang kamu berikan ada pada ibu, ambillah."
Rafli tersenyum kemudian pergi.
Kak Idris datang. Aku memeluknya. Dia hanya tersenyum. Untunglah dia bisa membantuku menjelaskan pada Rafli.
"Ini ada surat untukmu, yah. Tadi pagi pak pos mengantarkannya".
"Dari siapa?".
"Buka saja nanti juga tahu, yah."
Surat itu tertuliskan "kak Mei".
Yah, maafkan kakak. Kakak menghilang dan meninggalkanmu. Waktu pertama kita bertemu kakak merasa kamu anak yang baik. Kamu cantik. Kakak suka sekali kamu menganggap kakak seperti kakakmu sendiri. Kakak memang tertutup tentang keluarga kakak. Karena kakak tak tahu asal-usul keluarga kakak. Kakak tinggal di panti asuhan dari kecil. Itu sebabnya kakak tak mau memberitahumu. Maafkan kakak. Kakak tak bisa menyaksikan hari istimewamu itu. Kakak terlalu sakit menyaksikannya. Kak Idris itu orang yang pernah kakak cintai dengan sepenuh hati. Dia pernah mengisi hari-hari kakak. Sewaktu kuliah kami pernah bermimpi setelah kuliah dan bekerja kami akan menikah. Kemudian kakak memutuskan meninggalkannya. Karena kakak yakin setelah dia tahu keadaan kakak yang sebenarnya kak Idris akan meninggalkan kakak. Kakak sudah banyak berbohong. Akhirnya kisah kami berakhir. Sehari sebelum pesta pernikahanmu kakak tak sengaja melihat sepintas Kak Idris saat dia kekosmu. Kakak baru tahu ternyata Idris calon suamimu itu orang yang pernah kakak cintai. Kakak tak pernah bisa menemanimu bertemu dengan kak Idris karena sering berbenturan dengan jadwal kerja kakak. Kakak yang tadinya mau kekosmu mengurungkan diri. Kakak tak mau merusak kebahagiaanmu. Tak mau membuatmu pusing lagi setelah kehadiran Rafli. Kakak takut nanti kak Idris juga bingung sepertimu. Akan memilih kamu atau kakak. Tapi kakak yakin dia akan memilihmu. Sekali lagi maaf ya iyah. Kakak yakin ini yang terbaik. Semoga kamu dan kak Idris langgeng sampai kakek dan nenek. Dikaruniai anak yang sholeh dan sholeha. Kalian berdua cocok. Kakak tidak marah padamu. Jangan coba cari kakak. Kakak sekarang sudah bahagia dengan pilihan dan hidup kakak. Salam rindu dan sayang untukmu adikku Aisyah.
"Ini sudah takdir. Ketahuilah takdir Allah adalah takdir yang terbaik untuk kita umatnya. Biarkan masa lalu itu ada. Hanya sebatas untuk pelajaran dan kenangan saja. Aku tak akan mengingat masa lalu. Karena aku hidup untuk masa sekarang. Masa dimana aku telah ditakdirkan bersamamu bukan hidup bersama masa lalu. Jadi tenanglah. Aku takkan berpaling. Aku hanya menyayangi dan mencintai satu wanita saja yaitu kamu, Aisyah."
Lagi-lagi aku tertegun. Kak Idris bukanlah orang yang puitis. Tapi tiba-tiba saja dia berkata bak seorang pujangga cinta.
"Terimakasih Tuhan, tak akan ku sia-siakan pemberianMu ini. Akan ku jaga dia sebaik-baiknya." Kak Idris tersenyum kemudian senyumku tak lama menyusul.
Hujan turun begitu derasnya. Menutup perbincangan kali ini.

Minggu, 26 Juli 2015

"Ketika aku ditanya"

Cinta..
Kata yang hanya terdiri dari 5 huruf ini sangat sering diperbincangkan. Baik dikalangan anak-anak sampai orang tua sekalipun. Tak ada yang tahu secara pasti defenisinya. Setiap pendapat yang dikeluarkan sungguh bervariasi. Ketika pertanyaan itu menghampiriku, aku bingung dan ragu apa yang harus aku jelaskan. Apa itu cinta?
Ahhh. Aku tak mau menjawab tapi, sang penanya memaksaku.    Dengan menelan ludah aku mulai membuka mulutku.
Begini, menurutku cinta itu sederhana. Aku terdiam lagi. Sang penanya bingung. Apa kata-kata selanjutnya, cepat lanjutkan lagi aku mau mendengarnya. Kata-kata itu lagi-lagi memaksaku untuk melanjutkan.
Iya cinta itu sederhana, sesederhana kita mencintai seseorang yang tak perlu banyak alasan. Jawabanku membuat sang penanya terdiam sejenak. Tak bertahan lama. Lalu apa kamu pernah merasakan cinta?.   Sejak kita lahir ke dunia ini cinta telah hadir dikehidupan kita. Cinta ini tak hanya sederhana tetapi juga bersifat luas. Cinta terhadap Pencipta, keluarga, teman, bahkan sesama makhluk hidup. Ya tentunya aku pernah merasakan cinta.
Lalu bagaimana dengan jatuh cinta?
Dia menambahkan pertanyaan lagi. Iya sebenarnya sama saja seperti cinta. Tapi kalau jatuh cinta ini sering ditujukan cinta pada lawan jenis. Aku juga pernah merasakannya. Rasa itu datang begitu saja. Tak ada yang bisa mengira kedatangannya. Berkali-kali aku berusaha untuk menghindarinya dan hasilnya kegagalan. Rasa itu akan terus ada dan tak mungkin bisa hilang. Lalu bagaimana dengan patah hati?. Patah hati pun pernah aku rasakan. Ketika datangnya sebuah kebohongan demi kebohongan. Membuat semua rasa cinta itu berantakan. Sakit sungguh sakit saat sebuah rasa yang benar tulus harus berbalas kebohongan. Semenjak itu aku tak mau terjebak pada rasa itu. Aku pergi sejenak dan akan kembali ketika rasa itu datang diwaktu yang telah dijanjikan Tuhan dan bersama seseorang disana yang sudah tergariskan untukku. Sang penanya hanya bisa terdiam. Tak lama dia mengucapkan terimakasih. Lalu berlalu begitu saja.

Rabu, 18 Maret 2015

Kotak Merah Jambu


Tengg...tengg....tengg...
Bunyi yang kerap terdengar saat jam pelajaran usai. Seperti biasanya siswa-siswi bersigap untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Bak tentara yang ingin maju ke medan perang. Semuanya membeludak. Berbondong-bondong. Membuat area sekolah menjadi sesak, padat bahkan tak terlihat ada ruang kosong disana. Aku mencoba menghindarinya. Aku lebih memilih untuk bertahan diruangan kelas ini sampai semuanya sepi. Dan semua sudut sekolah menjadi hening. Terkadang aku merasa sedikit aneh pada diriku sendiri. Aku tak begitu tertarik dengan dunia luar yang penuh keramaian.
“Apakah ada yang sama sepertiku menghindari semua hal itu?” tanyaku sambil merenung.
Pertanyaan yang selalu muncul didalam pikiranku setiap kali aku menunggu berakhirnya keramaian. Tapi, aku selalu beranggapan bahwa itu hal yang wajar-wajar saja.
“Tam, kamu mau menunggu sampai berapa lama lagi disini?” sahut temanku yang terlihat terburu-buru ingin pulang.
“Sampai semuanya sepi” jawabku sambil mengawasi keramaian yang nampaknya belum berakhir.
Tanpa ada jawaban temanku pergi entah kemana. Dia adalah orang yang selalu bertanya setiap kali aku menunggu. Dia juga akan menghilang begitu saja. Terlihat aneh. Tapi, aku tak tertarik untuk mencari alasannya karena menurutku itu tidak penting. Dia selalu memanggil namaku dengan sebutan “Tam”. Itu panggilan teraneh. Tak ada satupun orang yang  memanggilku seperti itu. Dan tanpa seizinku dia tetap memanggilku “Tam”. Aku pun terpaksa menyetujuinya. Lupakan saja dia.
            Namaku sebenarnya adalah Zakiyah Kusuma Ramadhani. Aku adalah anak kedua dari pasangan Pak Cahyo Kusuma dan Ibu Widiasti Wijaya. Aku mempunyai seorang kakak yang bernama Baskoro Wijaya. Kakakku adalah pemain basket terhandal di sekolahnya. Selalu mengikuti turnamen dan dia berhasil menjadi pemain terbaik. Kakak yang hebat dan selalu menjadi kebanggaanku. Sedangkan adikku bernama Dimas Wijaya. Dia adalah master matematika disekolahnya. Dia pun sering memenangkan olimpiade. Terakhir kemarin dia ikut olimpiade sampai keluar negeri. Semua anak ayah dan ibu berprestasi tapi, bagaimana denganku. Aku tak mempunyai prestasi yang harus dibanggakan. Sedih. Aku berharap suatu saat aku akan menemukannya. Keluargaku dan teman-teman yang lain biasa memanggilku dengan sebutan “Kiki” atau “Iyah”. Aku selalu tampil apa adanya dan tidak suka keramaian. Ya, keramaian.
Nampaknya matahari semakin menyala-nyala. Hampir saja mengeluarkan semua tenaganya. Sehingga ketika sang matahari mengenai kulit bisa merubahnya menjadi lebih gelap. Semuanya telah lenyap. Keramaian itu berakhir. Huh. Waktunya untuk pulang.
Sepeda motorku masih tertata rapi diparkiran. Letaknya pun masih sama persis seperti pagi tadi ketika aku memarkirkannya. Dengan berlenggok-lenggok sambil bernyanyi kecil aku menghampiri sepeda motorku. Temol. Itu nama sepeda motor kesayanganku. Warnanya hitam. Ayah sengaja mengganti semua warna yang ada dimotorku menjadi hitam. Hingga sekarang aku tak pernah tahu apa alasannya. Aku hanya menerima saja. Sebab sepeda motor itu dibeli menggunakan uang ayah. Aku pun juga menyukai warna itu. Tak ada masalah. Tak ketinggalan helm ku pun berwarna hitam. Semua barang-barangku kebanyakan berwarna hitam. Walaupun aku ini wanita.
“Ayo sayang kita pulang, aku sudah tak sabar menyiyipi masakan ibu hari ini” dengan semangat yang membara-bara sambil melirik si Temol motor hitam kesayanganku.
Laju sepeda motorku begitu kencang. Maklum saja hari sudah semakin siang dan gerakan dari cacing-cacing diperut membuatku sedikit panik. Mungkin seandainya cacing-cacing itu bisa berbicara tentunya dia akan marah. Bahkan bisa saja mengngamuk. Lapar. Lapar. Tapi memang Tuhan itu Maha Adil. Semuanya sudah berjalan dengan sewajarnya.
Tanpa banyak basa-basi aku letakkan saja si Temol dikamarnya. Garasi. Kemudian melepaskan kedua kaoskaki hitamku. Meletakkan tas hitamku. Dan mengganti seragamku dengan kaos berlengan panjang berwarna hitam. Semuanya telah siap. Saatnya aku menghampiri ruangan kesukaanku. Ruang makan. Hmmmmm.
Makan, makan dan makan. Hanya itu yang ada dipikiranku saat masih disekolah tadi. Benar saja ayah, ibu, kakak, dan adikku sudah menunggu kedatanganku. Kami memang sering melakukan makan bersama. Walau terkadang makan sendiri-sendiri pun tak masalah. Yang penting harus makan. Itu pesan ayah dan ibu yang wajib dan harus dipatuhi. Jika tidak kami harus menerima konsekuensi. Kami mendapat hukuman. Yaitu harus melakukan semua pekerjaan ibu. Tak ada pengecualian. Itu perjanjian. Jadi, harus dilaksanakan.
Nampaknya makan siang kali ini ayah memilih topik untuk membicarakan aku. Walau sebenarnya aku sedikit kesal. Apa yang bisa aku perbuat. Aku pura-pura saja tidak mendengar perkataan ayah yang mulai mengarah kepadaku itu. Aku masih sibuk menyantap soto ayam buatan ibu yang tiada tandingannya itu. Namun, ayah tidak pantang menyerah. Ayah melakukan genjatan senjata secara liar. Aku bagaikan terperangkap jebakan ayah. Aku pasrah. Aku tidak berontak. Menyerah. Ayah berhasil.
Setiap kali aku menjawab pertanyaan-pertanyaan ayah yang sepertinya memojokkan aku dan mengolok-olokku itu selalu terdengar tawa yang samar-samar. Tak lain dan tak bukan itu tawa dari ibu, kakak dan adikku. Mereka berharap akan mendapat hiburan saat makan siang. Memang setiap kali aku yang menjadi topik pembicaraan, mereka semua terlihat begitu bahagia. Iya. Bahagia karena bisa menertawai aku. Menertawai nasibku yang penuh keanehan.
“Bagaimana sekolahnya tadi anak kesayangan ayah? Apa ada keanehan lagi?” ayah melanjutkan pertanyaannya sambil menahan tawanya.
“Ayah, aku kan sudah besar jangan panggil seperti itu lagi. Hari ini tidak ada yang aneh” aku mulai terpojokan dan aku berusaha ingin mengakhiri perbincangan ini.
Ayah selalu memanggilku dengan sebutan anak kesayangannya. Lagi-lagi tawa itu terdengar olehku, namun kali ini lebih keras. Memang diantara anak ayah dan ibu akulah yang sedikit manja. Hanya sedikit. Aku lebih suka menghabiskan waktu bersama ayah dan ibu dibanding bersama kakak, adik bahkan temanku.
Selama perbincangan itu berlangsung mereka hanya membahas bahwa aku adalah anak mereka yang paling cantik. Bagaimana tidak kakak dan adikku itu kan anak laki-laki. Konyol. Sesuatu yang sangat tidak penting untuk dibahas. Aku hanya duduk terpaku. Melihat soto ku yang sudah tak bersisa membuatku semakin bosan. Aku ingin lari.
Yah, aku permisi ke kamar mandi. Sakit perut.”aku mencoba mencari-cari alasan. Aku berdiri sambil memegangi perutku agar penyamaranku berjalan lancar.
Ayah, bohong itu dosa kan?” ibu menjawab dengan sedikit nada menyindir.
Iya dosa besar, Bu” ayah menjawab penuh dengan semangat.
Niat jahatku ini rupanya telah diketahui ibu. Gagal. Aku memutuskan untuk tetap bertahan.
Ya sudah kalau begitu hari sudah semakin siang. Ayo bantu ibu kalian membereskan tempat makan ini. Setelah itu jangan lupa kewajiban kalian shalat dzuhurnya,” ujar ayah untuk mengakhiri perbincangan yang aneh.
Akhirnya Tuhan mengabulkan permohonanku. Perbincangan kali ini berakhir begitu cepat. Mungkin Ayah sudah menyadari tingkahku yang semakin bosan mendengar perbincangan itu. Terima kasih ayah. Betapa bahagianya. Aku terbebas.
Semua tugas telah selesai aku laksanakan. Saatnya aku bermalas-malasan dikamarku yang bernuansa hitam. Aku selalu melakukan ini setiap hari. Menghabiskan waktuku dikamar sampai ibu memanggilku untuk melaksanakan tugas soreku. Menyapu halaman, menyirami semua tanaman ayah dan ibu, dan membersihkan rumah kecilku ini. Belum ada tanda-tanda ibu memanggilku.
Tiba-tiba saja handphoneku berbunyi. Aneh. Handphoneku tak seperti biasanya yang begitu sunyi dan tak pernah terjamah. Keras dan nada itu semakin keras. Aku mengenalinya. Sepertinya itu nada panggilan masuk. Langsung saja ku sambar handphoneku yang berada diatas meja belajar.
Assalamualaikum”, jawabku dengan semangat juang yang luar biasa. Itu karena jarang sekali handphoneku berbunyi. Bahkan dijam-jam istirahatku hampir sama sekali tak ada yang mau menghubungiku. Aku pun tak tahu apa alasannya. Aku hanya merasa bahwa aku tak punya banyak teman bahkan sahabat sekali pun. Kecuali mereka keluargaku. Mungkin itu salah-satu penyebab handphoneku jarang sekali berbunyi.
Setelah ucapan salamku berakhir. Panggilan itu berubah menjadi hening. Tak ada jawaban dari penelpon. Sampai pada akhirnya panggilan tersebut terputus begitu saja. Rasa kesal mulai menghampiriku. Kejadian itu berulang sebanyak sepuluh kali. Aku pun tak mengetahui itu panggilan dari siapa. Nomornya baru. Untuk menghilangkan rasa bimbangku aku menganggap mungkin hanya orang yang salah sambung atau mungkin ada adik kecil yang sedang memainkan handphone orangtuanya secara sembunyi-bunyi. Iya itu alasan tepat untukku agar tidak sakit kepala memikirkannya. Aku memutuskan untuk mematikan handphoneku. Walaupun sebenarnya aku bisa mematikan nadanya saja dan membiarkan handphone itu tetap aktif diatas meja. Tapi, aku sudah kesal. Aku merasa terganggu. Aku takut akan kehilangan jam istirahatku.
Aku mulai merebahkan tubuhku yang nampaknya begitu letih. Hampir saja aku terlelap. Namun kemudian aku tertegun. Mataku tak mau berkedip. Aku lupa mengerjakan tugasku untuk besok. Terpaksa aku harus bangun. Membuang semua kemalasan dan mengerjakannya.
Sepertinya waktu istirahatku hari ini gagal”, gumamku kesal.
Aku menghampiri tas hitamku. Mengambil peralatan menulis dan buku tugasku. Kemudian duduk manis dimeja belajar hitamku.
Ayo semangat kiki semangat”, mencoba menyuntikan semangat kepada diri sendiri untuk  mengerjakan tugas.
Akhir-akhir ini tugas sekolah semakin bertambah banyak. Apalagi ujian tengah semester telah bersiap menyambut. Mungkin tugas anak SMA lebih banyak daripada anak SMP. Karena Dimas adikku hanya sibuk main, main, dan main. Jarang sekali melihatnya mengerjakan tugas. Apa mungkin saja dia malas mengerjakannya. Hanya ayah dan ibu yang bisa menjawab pertanyaanku ini.
Alarmku berbunyi. Ibu memanggilku. Waktunya aku untuk keluar dari persembunyianku. Waktu istirahatku yang mengecewakan. Tak banyak alasan. Aku langsung menemui ibu yang sedang semangat memasak. Ibuku memang sangat suka memasak. Terkadang melalaikan tugas yang lain. Kewajibanku sebagai anak wanita satu-satunya dirumah ini wajib mengerjakan tugas ibu yang terlalaikan. Aku bahagia melakukannya. Karena ibu selalu menghadiahkan makanan kesukaanku. Ibu selalu pintar meluluhkan hatiku.
Waktu terus berlalu. Hari pun terus berganti. Aku mulai bisa beradaptasi. Bahkan aku sekarang mempunyai teman. Walaupun hanya ada dua teman. Tak masalah. Itu perubahan yang baik. Aku semakin semangat untuk menyelesaikan sekolah menengahku ini. Kemudian aku akan merasakan bagaimana suasana bangku kuliahan.
Begitu cepat waktu bergulir. Satu bulan lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan. Semua siswa mulai menyibukkan diri dengan belajar. Ada yang memilih mengikuti bimbingan belajar. Ada juga yang memilih belajar sendiri dengan buku-buku paket yang ada. Sedangkan aku memilih belajar secara berkelompok. Menurutku itu lebih asik, kita bisa bertukar pikiran. Aku dan dua temanku itu mulai membuat jadwal intensif untuk belajar. Sasaran tempat belajar kami adalah rumahku. Menurut kedua temanku itu si Fira dan Citra rumahku adalah rumah yang strategis dilihat dari letaknya dan rumah yang paling nyaman utnuk belajar. Aku tidak keberatan asal mereka mau belajar dikamarku yang bernuansa hitam itu.
“Hari ini jangan lupa kita belajar dirumah kiki jam 14.00”, tegas Fira sewaktu bel pulang berbunyi.
“Siap”, jawab Citra yang begitu antusias itu.
Aku pun mengangguk. Sebagai isyarat bahwa aku aku mendengar perbincangan mereka. Namun, tanpa kami sadari perbincangan kami diketahui orang lain. David mencoba mendengar perbincangan kami. David adalah orang aneh yang sering memanggilku dengan sebutan “Tam”. Sampai sekarang pun dia selalu memanggilku seperti itu. Terkadang aku ingin memarahinya agar dia tidak memanggilku “Tam” lagi. Aku malu. Menyapanya saja aku tak punya nyali apalagi untuk memarahinya. Dia juga bisa berubah dratis kalau bertemu denganku. Yang tadinya suka berkoar-koar saat aku berjumpa dengannya dia diam seperti patung. Bahkan terkadang dia lari sekencang-kencangnya. Mungkin dia takut dengan wajahku yang seperti ini. Selalu sinis menatapku. Sudahlah. Biarkan saja. Keanehan yang belum bisa terselesaikan.
“Aku mau ikut belajar kelompok juga dirumah si Tam”, dengan suara David yang khas itu terkesan memaksa untuk ikut.
“Boleh, boleh ikut aja, Vid”, jawab Fira dan Citra dengan begitu semangat.
“Terima kasih”, jawab David yang kemudian pergi entah kemana.
Kesal. Aku tidak diberi waktu untuk berbicara sedikit pun bahkan aku belum menyetujui David ikut kelompok belajarku. Dia begitu saja berlalu. Dua temanku pun langsung mengiyakan perkataan David. Mereka terlihat bahagia sekali David ikut bergabung. Tak enak hati jika aku harus melarang David. Aku hanya tak ingin ada orang aneh dirumahku.
Pukul 14.00 Fira dan Citra sudah berada didepan gerbang rumahku. Aku langsung menghampiri mereka dan mengajaknya masuk. Tak lama kemudian David datang. Aku kaget. Bagaimana bisa dia mengetahui rumahku padahal sebelumnya dia tak pernah kesini. Menurutku penampilan David aneh. Dia terlihat berbeda. Dia mengenakan baju kemeja berwarna merah jambu. Tanpa berpikir panjang lagi aku mengajak mereka belajar diruang keluargaku. Rencana awal gagal. Karena ada David kami terpaksa belajar diruang keluarga bukan dikamarku. Tak banyak yang David lakukan. Dia hanya banyak diam. Sesekali berbicara jika ada pelajaran yang tidak dia mengerti. Bahkan untuk sekedar bercanda pun tidak ada. Aku merasa tidak ada David diantara kami. Dia menjadi bisu.
            Hampir setiap pertemuan belajar kelompok David mengenakan kemeja berwarna merah jambu dengan motif yang berbeda-beda. Aku merasa bahwa David adalah pencinta warna merah jambu. Padahal dia kan laki-laki. Aku saja wanita suka warna hitam. Lagi-lagi aku memutuskan tidak ingin mencari alasan keanehan itu. Tingkah-laku David pun berbeda jauh antara dirumahku dan disekolah. Selama sebulan kami berempat selalu belajar bersama. Sampai pada pertemuan terakhir David memberikanku sesuatu yang aneh.
“Tam, ini aku ada sesuatu buat kamu”, sambil mengambil suatu kotak hadiah berwarna hitam dari dalam tasnya.
“Apa ini? Aku tidak berulangtahun hari ini”, aku merasa bingung.
“Ambillah kotak merah jambu itu, tolong jaga baik-baik”, kemudian dia pergi begitu saja.
            David meninggalkanku begitu saja. Dia benar-benar orang yang aneh. Aku mengira dulu hanya aku yang aneh tapi, David jauh lebih aneh. Kotak yang berwarna hitam dibilang kotak merah jambu. Aku tak tertarik untuk membukanya. Aku memutuskan untuk membuang kotak itu. Kotak tak penting.
            Waktu yang ditunggu-tunggu pun datang. Ujian kelulusan akan segera dimulai. Semua siswa duduk manis untuk mengerjakan soal demi soal begitu pun denganku. Aku mendapat ruang 2. Sedangkan Fira,Citra, dan David diruang 1. Jadi, selama ujian berlangsung aku jarang bertemu dengan mereka.
            Satu hari berlalu, dua hari berlalu, dan tiga hari berlalu. Ujian kelulusan telah usai. Tugasku berakhir. Sekarang aku hanya menunggu bagaimana hasil perjuanganku dan teman-temanku selama ini. Aku berharap semuanya bisa lulus dan aku bisa mendapatkan nilai terbaik. Setidaknya aku bisa membuat ayah dan ibu bangga kepadaku dengan hasil ujianku ini.
            Handphoneku berbunyi. Ayah menelpon memintaku untuk segera pulang. Padahal hari ini aku ada janji untuk pergi makan bersama Fira, Citra dan juga David. Aku gagalkan niatku. Aku harus pulang. Ayah membutuhkanku. Dengan berat hati, aku menemui Fira bahwa aku tidak bisa ikut. Fira berusaha keras mengajakku.
“Kiki, kamu harus ikut makan untuk hari ini saja”, desak Fira.
“Maaf, Fir. Aku tidak bisa. Ayah menelponku untuk segera pulang ada yang penting”, jawabku dengan wajah bingung.
Fira hanya menganggukkan kepalanya. Dia berharap aku bisa menyusul mereka. Tapi, aku harus tetap pulang. Pesan dari orangtua itu harus dipatuhi. Pesan ayah dan ibu kepada kami anak-anaknya yang selalu melekat dipikiranku.
            Sesampainya dirumah ayah tiba-tiba memeluk tubuhku begitu erat. Ayah  memelukku tanpa sepatah kata pun. Selama ini ayah tak pernah memelukku seerat ini. Ada apa dengan ayah. Aku hanya membiarkan ayah tetap memelukku. Aku melihat ada sesuatu. Tapi aku tak tahu apa itu.  Aku pun melihat disisi lain kakak dan adikku sedang duduk termenung disofa berwarna hitam. Aku mencoba mencari posisi ibu dimana. Tapi, aku tak menemui ibu disudut mana pun. Rasaku semakin penasaran. Ayah tak menjawab tanyaku. Begitu juga kakak dan adik. Sampai aku mengulang pertanyaan yang sama. Percuma. Semuanya tetap diam. Aku memutuskan untuk melepaskan pelukan ayah. Aku ingin mencari keberadaan ibu.
            Aku berharap ibu sedang beristirahat. Aku berharap ibu sedang tidur siang dikamarnya. Segera aku menuju kamar ayah dan ibu. Kosong. Tak ada satu orang pun. Dimana ibu. Aku tak berputus asa semua penjuru rumah aku telusuri. Hasilnya sama tak ku dapati ibu. Aku semakin panik.
            Hingga akhirnya kaki ini terasa gemetar, tubuhku lemas, dan pengelihatanku mulai hitam. Aku berusaha untuk bangkit. Gagal. Aku terjatuh.
“Sadar anakku, sadar”, suara ayah yang samar-samar terdengar ditelingaku.
Aku kehilangan keseimbangan. Aku melihat sesuatu yang begitu mengerikan. Aku melihat ibu. Aku melihatnya. Kemudian beliau menghilang.
            Aku pun tersadar. Aku mulai membuka kedua mataku. Ramai. Itu yang terlihat. Aku berdiri. Aku ingin tetap mencari ibu. Apapun caranya aku harus menemukan ibu. Ayah memegang tanganku.
“duduklah, nak. Itu ibumu”, dengan menghapus air mata yang menetes dipipinya.
Benar. Aku melihat ibu. Ibu yang selalu memasakan makanan kesukaanku. Ibu yang selalu tersenyum saat aku sedang panik. Tapi, aku hanya melihat ibu dalam kondisi diam. Apa yang terjadi pada ibu. Tak ada reaksi saat aku panggil.
“mungkin ibu terlalu lelah, jadi tidurnya begitu nyenyak”, aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa sesuatu yang buruk tak terjadi.
Ayah memelukku lagi.
“Ibu, sudah tiada”, jawab ayah.
“Ayah bercanda”, aku menjawab dengan sedikit tawa.
Aku berlari dan memeluk ibu. Dingin. Tubuhnya begitu dingin. Bibirnya pucat. Aku berusaha memanggil dan membangunkannya. Tak ada respon. Bahkan tawanya tak lagi terlihat. Ketakutanku benar terjadi. Ibu pergi meninggalkanku. Ibu jahat. Aku tak percaya ibu meninggalkanku begitu cepat. Tak ada satu pun tanda bahwa ibu akan pergi. Pergi untuk selamanya. Tangisku mulai terdengar. Aku tak sanggup menahannya. Ayah, kakak dan adikku pun melakukan hal yang sama. Kami kehilangan bidadari.
Ayah mulai tegar. Ayah menjelaskan apa yang terjadi. Ibu tidak sakit. Ibu hanya permisi pada ayah untuk pergi kepasar. Kemudian sewaktu dipasar ibu jatuh pingsan. Ketika dibawa ke rumah sakit ibu sudah tak tertolong. Ibu benar-benar meninggalkanku untuk selamanya. Tak ada perkataan terakhir ibu untukku. Tak ada kata perpisahan itu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa tanpa ibu. Ayah memutuskan untuk pindah ke luar kota. Ayah tak mau mengingat semua kenangan ibu dirumahku itu.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Kakakku sekarang sudah menikah bahkan dia akan segera mendapatkan . Adikku bahkan sedang merasakan bagaimana itu kuliah. Sedangkan, aku sekarang sudah menjadi sarjana muda. Aku bahagia dan bangga tamat dengan nilai terbaik. Ayah tak henti-hentinya memberikan ucapan selamat padaku. Aku sekarang sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sudah berjanji akan menemuiku disaat aku sudah menjadi sarjana. David. Dia adalah orangnya.
Kotak hadiah yang berwarna hitam dan David mengatakannya kotak hadiah berwarna merah jambu itu ternyata masih ada. Ternyata ibu menyelamatkan bahkan menyimpannya dilemari pakaian adikku. Waktu itu aku sedang mengemas pakaian adikku untuk dibawa kerumah yang baru. Betapa kagetnya ternyata kotak itu masih ada. Dimas mengatakan bahwa ibu sengaja menyimpannya. Ini penting. Ibu menyuruh Dimas agar merahasiakannya dariku.
Karena penasaran aku membuka kotak hadiah hitam itu. Indah. Semua yang ada didalam kotak itu berwarna merah jambu. Ada kalung, cincin, dan gelang berwarna merah jambu. Aku tak pernah menyukai warna merah jambu. Tapi, begitu melihat semua itu aku tiba-tiba menyukainya. Bahkan yang lebih membuatku kaget didalam kotak tersebut terdapat dua buah surat. Tertulis namaku disana Zakiyah Kusuma Ramadhani.
Teruntuk bidadariku Zakiyah Kusuma Ramadhani
Kamu adalah wanita teraneh yang pernah aku temui. Tapi, karena itu aku menyukaimu. Dari awal kita bertemu rasa itu telah hadir hingga detik ini dan sampai kapan pun akan seperti itu. Aku berharap kamu bisa merasakan hal yang sama. Aku berharap kita bisa berjodoh. Maaf aku selalu memanggilmu dengan sebutan “Tam”. “Tam” itu berarti hitam. Wanita yang suka warna hitam. Aku tak banyak bisa berkata-kata didepanmu. Aku malu. Jadi aku terkesan sombong. Maaf juga waktu itu aku sering menelponmu. Aku sebenarnya ingin bicara padamu, ki tapi apalah daya aku tak bisa.
Aku memaksakan diri untuk bergabung belajar kelompok bersama kamu itu sengaja agar aku bisa lebih mengenalmu. Mungkin kamu merasa aneh mengapa aku selalu memakai kemeja berwarna merah muda saat belajar dirumahmu itu agar kamu bisa menyukai warna merah muda. Bahwa merah muda itu tidak sejelek yang kamu kira. Aku harap setelah membaca surat ini kamu bisa suka warna merah muda dia lebih indah dan lebih pantas untuk kamu bukan warna hitam. Jangan takut keramaian lagi ya.
Aku akan menemuimu disaat kamu sudah menyelesaikan kuliahmu, ki. Hubungi alamat email aku ya david@yahoo.com. Aku selalu menunggu balasan darimu.
Semangat ya.
Tertanda
David
            Surat pertama dari David. Orang yang selalu aku anggap aneh. Aku tak hentinya menghadirkan tawa saat membaca surat David. Dan surat yang kedua ternyata dari ibu. Ternyata ibu meninggalkan kata-kata perpisahan untukku.
Anakku tersayang Zakiyah Kusuma Ramadhani,
Ibu titip ayah, kakak, dan adikmu ya. Ibu tidak bisa selalu berada disisi kalian. Maaf ibu menyimpan kotak ini. Ibu penasaran. Ibu juga baca surat dari David. Dia menyukaimu, nak. Dia adalah anak yang baik. Ibu berharap dialah orang yang bisa menjadi pendampingmu kelak.
Kamu harus suka warna merah muda ya biar lebih kelihatan wanitanya. Hehehehe.....
Jangan suka warna hitam lagi. Dulu ayahmu menginginkan kamu menjadi wanita yang tomboy, ki. Jadi semua peralatanmu ayah belikan berwarna hitam agar kamu bisa menyukainya juga. Sampai-sampai si Temol motormu itu dibuat ayahmu menjadi warna hitam. Ibu tak pernah setuju. Tapi, ternyata kamu menyukai warna hitam.
Ibu sayang kalian. Tak boleh jadi anak yang cengeng ya.jadi anak yang kuat. Ibu pergi ya sayang.
            Dan surat kedua ternyata dari ibu. Sungguh dua surat yang memotivasi untukku berubah. Semenjak aku membaca kedua surat itu. Aku meninggalkan warna hitamku dan menghadirkan warna merah jambu. Aku menyukai warna itu. Ayah pun sekarang tak mempermasalahkannya lagi.

            Aku juga menyukai David. Dia adalah manusia aneh yang mampu membuatku berubah menjadi manusia normal. Tepat dihari perjanjian dalam surat itu aku menghubungi David via e-mail. Aku memberikan alamatku padanya. Dia hanya membalas “ tunggu aku” . Tak lupa aku kenakan semua aksesoris yang ada didalam kotak itu. Aku sudah lama sekali tak berjumpa dengannya. David tak berubah. Dia memakai kemeja berwarna merah jambu dan membawa rangkaian bunga mawar yang warnanya hampir sama dengan warna kemejamya. Dia melamarku.